Senin, 30 Oktober 2017

Anak Titipan Illahi

Anak Titipan Illahi


Sabtu selepas salat ashar, kami duduk-duduk di teras rumah. Sambil memandang rerimbunan pepohonan sekitar pekarangan. Bapak menyuruh anak ketiga kami, ”Dik Rizka bawa minum ya!”. Dari dalam rumah terdengar sahutan, “Siap Pak, tugas dilaksanakan”. Maka keluarlah gadis kecil sambil membawa gelas besar berisi teh manis, di tangan kiri, tangan kanan memegang piring berisi bakwan jagung yang masih hangat. ’’Monggo Pak..,unjukanipun ugi nyamikanipun. Matur nuwun Dik Rizka, anak pinter. Kan udah sekolah. Heh gemes aku “, ucap suamiku sambil menoel pipi anakku.
‘’Apa Ibu dulu pernah melahirkan di R.S. Panti Rapih Pak?”, tanya anak itu. ”Ya, ketika melahirkan kakakmu yang kelima. Bagaimana Ibu nangis tidak waktu itu. Kan kakakku dah ditunggu –tunggu kehadirannya di keluarga ini, tetapi diambil lagi oleh Allah. Ya semua kan usaha Dik”. Cerita dong Pak. ”Baik Bapak bercerita adik mendengarkan ya, besuk ulangan keluar”, canda kami.  Aku hanya tersenyum melihat tingkah anak dan bapak yang saling bercanda itu.
Waktu itu Hari Minggu, aku dan ibu berada di tempat simbah Medari. Aku dan ibu bermaksud membantu simbah menjemur gabah yang baru aja di panen. Biasa ibu sebagai mandor dan hanya membantu angkat kantong atau bagor yang sudah kosong. ”Wah enak di Ibu berat di Bapak dong “,komentar Rizka sambil mencubitku. ’’Dengar dulu kira-kira ada apa kok Bapak memberi keringanan kerja untuk Ibu”, sambungku. ”Dilanjutkan, oke. Karena saat itu ibu sedang mengandung yang kelima kali dan sesuai nasihat dokter harus hati-hati tidak boleh kerja berat-berat. Jadi cukup bantu yang ringan aja bapak dah seneng. Jam di rumah simbah baru aja berbunyi sebelas kali, ibuk mendekati bapak yang baru saja ngarik-arik gabah. ”Pak, kok ngeflek, pripun?”. Saat itu bapak langsung siap –siap untuk mengajak ibu ke R.S Panti Rapih sesuai petunjuk dokter yang menangani . Sampai di R.S, langsung masuk ke kamar bersalin. Bapak tidak tahan melihat kondisi ibu yang selalu merintih beristighfar ” Astagfirullah Hal adlim” sambil memegangi perut. Perawat dah sibuk merawat ibu. Bapak menunggu dengan harap-harap cemas. Tiba-tiba seorang perawat, teman sekolah Bapak waktu di SMA Santo Agustinus muncul mohon ijin bagaimana kalau ditindak lanjutan karena dah kontraksi. Bapak manut mana yang terbaik .Dalam waktu kurang dari satu jam sudah ada pemberitahuan bahwa adik kecil dah lahir, namun karena kondisi, perlu dirawat di incubator.
Aku musyawarah dengan ibu, akhirnya sepakat, demi anak apapun akan dilakukan. Hari itu juga ibu, harus puasa untuk menjalani curet karena kandungan sudah besar, enam bulan lebih. Dokter menyarankan curet agar tidak ada sisa-sisa darah atau serpihan daging yang tertinggal yang bisa menyebabkan penyakit .Sementara suamiku bercerita ,anganku melayang di ruang persiapan operasi. ’’Dik, tidak ada yang nunggu?,’’ suara lembut seperti membangunkan lamunanku. ”Oh, Mbak Murni, ga ada, entah suamiku ke mana kok belum datang. Operasi dah mau dimulai?”. Suaraku agak tersendat di tenggorokan karena rasa khawatir yang bercampur kegelisahan. ”Dah, ga papa ada saya, nanti tak temani, aku ke ruangan dulu ya”, hiburnya sambil mengelus pundakku. Ternyata kakak kelasku waktu di SMA N Argomulyo.
Waktu persiapan operasi telah tiba, persiapan dah selesai. Aku didorong ke ruang operasi dalam kondisi terikat kaki dan tangan. Surat Alfatikhah, kulantunkan berbarengan suntikan-suntikan untuk kelancaran operasai. Dokter, tiba-tiba berkata, ”Ibu ini kok ampuh seukuran itu kok masih sadar, tambah aja setengah .Ibu sering minum kopi ya?”.Aku menjawab , ”Sering minum kopi Pak”. Akhirnya selembar saputangan di usapkan ke wajah dan aku tertidur.Ketika aku setengah sadar, kurasakan kepala pusing dan pandangan samar. Terdengar suara pelan di telingaku “Aku di sini, operasi  dah selesai. Samar-samar kurasa tubuhku di dorong menuju pav Elisabeth. Aku ingin muntah terus, sampai tenggorokan terasa sakit. Perut seperti diaduk-aduk.Naluri keibuanku mendorong aku bertanya,”Mas anak kita bagaimana?”. Tanpa jawaban.Akhirnya ada jawaban,”Masih dirawat , yang penting kamu segera sehat dan pulang”. Bel tanda besuk habis berbunyi, berarti aku sendirian lagi. “Mas,tanya boleh ditunggu tidak”,pintaku.Tapi ternyata tidak boleh ditunggu.Terdengar suara perawat memberi nasihat,”Mbak Bapak biar pulang untuk istirahat, panjenengan kan sudah bayar kami, nanti akan kami layani dengan baik Bapak tidak perlunmkhawatir.”Tapi ,ini belum sadar penuh,nanti kalau mau makan bagaimana?’’suara suamiku.”Pun mangkih kulo suapi”.
Akhirnya,suami pulang , aku sendirian.Kesadaranku mulai pulih,tetapi masih pusing. Aku tak bisa tidur sekejap pun. Anganku terbang ke ruangan di mana kemarin anakku dirawat. Hanya doa dan mohon ampunan yang kulakukan .Doa dan harapanku besuk pagi bisa pulang sambil menggendong si kecil, yang kuangan namanya Nurjanah.
Pagi tiba, suara adzan terdengar merdu di telingaku .Aku segera mandi dan bersiap akan menyongsong kepulangan kami.Ku bertanya , berapa administrasi yang harus kuselesaikan .Itu kulakukan agar nanti tinggal melunasi, dan scepatnya pulang.Jam kunjung tiba, suamiku datang. Kusambut berondongan tanya, tetapi hanya diam.”Ada apa Mas kok diam,bilang terus terang, aku curiga ada apa-apa”,tangisku  tertahan.”Dik,anak kita  …”,suaranya tertahan”.Kuucap innalillahi wa inna ilaihi rij’un”.Aku hempaskan tubuhku ke tempat tidur.Perawat segera menghampiri kami, pasien lain bertanya apa yang terjadi.
‘’Sudah,istighfar semua milik Allah .Kita harus sabar.Anak adalah titipan Illahi yang bisa diambil kapan saja oleh Yang Maha segalanya”..Aku masih menangis .Hari itu juga aku minta pulang ,dan diijinkan.Namun ada kendala, pembayaran administrasi terjadi masalah karena jumlah yang tertulis dianggap,kurang sesuai. Kami diminta menghubungi perawat. Sore hari baru terselesaikan ada  perbedaan pada uang penanganan atau tindakan dokter .Sore hari kami baru pulang tanpa si monik karena dah diambil Yang Maha Memiliki.
“Pak,ibu kok nangis ada apa?”, suara Rizka. Aku malu, dan kuusap mataku sambil merangkulnya.”Ada apa Bu, ingat apa?”.Aku tersenyum , “Ingat ketika melahirkan anak kelima di R.S Panti Rapih.” Anakku melihat terus ke arahku dan berkata,”Ibu berjuang sekuat tenaga, nyawa sebagai taruhan demi anak.Besuk tak buat puisi ya Bu”,.Aku tersenyum. “Berat ya perjuangan seorang ibu,kita tidak boleh nakal dan harus patuh pada ibu”.Aku menepuk pundaknya halus,”Tidak hanya patuh pada ibu ,tetapi juga Bapak,kakek ,nenek juga harus dipatuhi nasihatnya.Pokoknya bapak ibu selalu berdoa agar kalian menjadi anak yang shalikhah.Berbakti pada orang tua dan takwa pada yang Kuasa”.Spontan kami berucap “Amin!”.Dari arah utara terdengar lantunan adlan tanda salat maghrib telah tiba.Kami beranjak sambil mengambil mukena menuju ke masjid. Rasa damai menyelimuti keluarga kami, saat-saat seperti ini. Berjalan bersama beriringan ke masjid untuk sembahyang berjamaah. Alhamdulillah semoga Allah memberikan kedamaian selalu pada keluarga kami

NAMA KELOMPOK
ARIFIANA KURNIA
MUTOFINGAH
NURAFNI YULIANI
FAJARIZMA NFM
AULIA FAUZIARAHMA
 ANGGUN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar