Anak Titipan
Illahi
Sabtu selepas salat ashar, kami duduk-duduk di teras
rumah. Sambil memandang rerimbunan pepohonan sekitar pekarangan. Bapak menyuruh
anak ketiga kami, ”Dik Rizka bawa minum ya!”. Dari dalam rumah terdengar
sahutan, “Siap Pak, tugas dilaksanakan”. Maka keluarlah gadis kecil sambil
membawa gelas besar berisi teh manis, di tangan kiri, tangan kanan memegang
piring berisi bakwan jagung yang masih hangat. ’’Monggo Pak..,unjukanipun ugi
nyamikanipun. Matur nuwun Dik Rizka, anak pinter. Kan udah sekolah. Heh gemes
aku “, ucap suamiku sambil menoel pipi anakku.
‘’Apa Ibu dulu pernah melahirkan di R.S. Panti Rapih
Pak?”, tanya anak itu. ”Ya, ketika melahirkan kakakmu yang kelima. Bagaimana
Ibu nangis tidak waktu itu. Kan kakakku dah ditunggu –tunggu kehadirannya di
keluarga ini, tetapi diambil lagi oleh Allah. Ya semua kan usaha Dik”. Cerita
dong Pak. ”Baik Bapak bercerita adik mendengarkan ya, besuk ulangan keluar”,
canda kami. Aku hanya tersenyum melihat
tingkah anak dan bapak yang saling bercanda itu.
Waktu itu Hari Minggu, aku dan ibu berada di tempat
simbah Medari. Aku dan ibu bermaksud membantu simbah menjemur gabah yang baru
aja di panen. Biasa ibu sebagai mandor dan hanya membantu angkat kantong atau
bagor yang sudah kosong. ”Wah enak di Ibu berat di Bapak dong “,komentar Rizka
sambil mencubitku. ’’Dengar dulu kira-kira ada apa kok Bapak memberi keringanan
kerja untuk Ibu”, sambungku. ”Dilanjutkan, oke. Karena saat itu ibu sedang
mengandung yang kelima kali dan sesuai nasihat dokter harus hati-hati tidak
boleh kerja berat-berat. Jadi cukup bantu yang ringan aja bapak dah seneng. Jam
di rumah simbah baru aja berbunyi sebelas kali, ibuk mendekati bapak yang baru
saja ngarik-arik gabah. ”Pak, kok ngeflek, pripun?”. Saat itu bapak langsung siap
–siap untuk mengajak ibu ke R.S Panti Rapih sesuai petunjuk dokter yang
menangani . Sampai di R.S, langsung masuk ke kamar bersalin. Bapak tidak tahan
melihat kondisi ibu yang selalu merintih beristighfar ” Astagfirullah Hal
adlim” sambil memegangi perut. Perawat dah sibuk merawat ibu. Bapak menunggu
dengan harap-harap cemas. Tiba-tiba seorang perawat, teman sekolah Bapak waktu
di SMA Santo Agustinus muncul mohon ijin bagaimana kalau ditindak lanjutan
karena dah kontraksi. Bapak manut mana yang terbaik .Dalam waktu kurang dari
satu jam sudah ada pemberitahuan bahwa adik kecil dah lahir, namun karena
kondisi, perlu dirawat di incubator.
Aku musyawarah dengan ibu, akhirnya sepakat, demi anak
apapun akan dilakukan. Hari itu juga ibu, harus puasa untuk menjalani curet
karena kandungan sudah besar, enam bulan lebih. Dokter menyarankan curet agar
tidak ada sisa-sisa darah atau serpihan daging yang tertinggal yang bisa
menyebabkan penyakit .Sementara suamiku bercerita ,anganku melayang di ruang
persiapan operasi. ’’Dik, tidak ada yang nunggu?,’’ suara lembut seperti
membangunkan lamunanku. ”Oh, Mbak Murni, ga ada, entah suamiku ke mana kok
belum datang. Operasi dah mau dimulai?”. Suaraku agak tersendat di tenggorokan
karena rasa khawatir yang bercampur kegelisahan. ”Dah, ga papa ada saya, nanti
tak temani, aku ke ruangan dulu ya”, hiburnya sambil mengelus pundakku.
Ternyata kakak kelasku waktu di SMA N Argomulyo.
Waktu persiapan operasi telah tiba, persiapan dah
selesai. Aku didorong ke ruang operasi dalam kondisi terikat kaki dan tangan.
Surat Alfatikhah, kulantunkan berbarengan suntikan-suntikan untuk kelancaran
operasai. Dokter, tiba-tiba berkata, ”Ibu ini kok ampuh seukuran itu kok masih
sadar, tambah aja setengah .Ibu sering minum kopi ya?”.Aku menjawab , ”Sering
minum kopi Pak”. Akhirnya selembar saputangan di usapkan ke wajah dan aku
tertidur.Ketika aku setengah sadar, kurasakan kepala pusing dan pandangan
samar. Terdengar suara pelan di telingaku “Aku di sini, operasi dah selesai. Samar-samar kurasa tubuhku di
dorong menuju pav Elisabeth. Aku ingin muntah terus, sampai tenggorokan terasa
sakit. Perut seperti diaduk-aduk.Naluri keibuanku mendorong aku bertanya,”Mas
anak kita bagaimana?”. Tanpa jawaban.Akhirnya ada jawaban,”Masih dirawat , yang
penting kamu segera sehat dan pulang”. Bel tanda besuk habis berbunyi, berarti
aku sendirian lagi. “Mas,tanya boleh ditunggu tidak”,pintaku.Tapi ternyata
tidak boleh ditunggu.Terdengar suara perawat memberi nasihat,”Mbak Bapak biar
pulang untuk istirahat, panjenengan kan sudah bayar kami, nanti akan kami
layani dengan baik Bapak tidak perlunmkhawatir.”Tapi ,ini belum sadar
penuh,nanti kalau mau makan bagaimana?’’suara suamiku.”Pun mangkih kulo suapi”.
Akhirnya,suami pulang , aku sendirian.Kesadaranku
mulai pulih,tetapi masih pusing. Aku tak bisa tidur sekejap pun. Anganku
terbang ke ruangan di mana kemarin anakku dirawat. Hanya doa dan mohon ampunan
yang kulakukan .Doa dan harapanku besuk pagi bisa pulang sambil menggendong si
kecil, yang kuangan namanya Nurjanah.
Pagi tiba, suara adzan terdengar merdu di telingaku
.Aku segera mandi dan bersiap akan menyongsong kepulangan kami.Ku bertanya ,
berapa administrasi yang harus kuselesaikan .Itu kulakukan agar nanti tinggal
melunasi, dan scepatnya pulang.Jam kunjung tiba, suamiku datang. Kusambut
berondongan tanya, tetapi hanya diam.”Ada apa Mas kok diam,bilang terus terang,
aku curiga ada apa-apa”,tangisku
tertahan.”Dik,anak kita
…”,suaranya tertahan”.Kuucap innalillahi wa inna ilaihi rij’un”.Aku
hempaskan tubuhku ke tempat tidur.Perawat segera menghampiri kami, pasien lain
bertanya apa yang terjadi.
‘’Sudah,istighfar semua milik Allah .Kita harus
sabar.Anak adalah titipan Illahi yang bisa diambil kapan saja oleh Yang Maha
segalanya”..Aku masih menangis .Hari itu juga aku minta pulang ,dan
diijinkan.Namun ada kendala, pembayaran administrasi terjadi masalah karena
jumlah yang tertulis dianggap,kurang sesuai. Kami diminta menghubungi perawat.
Sore hari baru terselesaikan ada
perbedaan pada uang penanganan atau tindakan dokter .Sore hari kami baru
pulang tanpa si monik karena dah diambil Yang Maha Memiliki.
“Pak,ibu kok nangis ada apa?”, suara Rizka. Aku malu,
dan kuusap mataku sambil merangkulnya.”Ada apa Bu, ingat apa?”.Aku tersenyum ,
“Ingat ketika melahirkan anak kelima di R.S Panti Rapih.” Anakku melihat terus
ke arahku dan berkata,”Ibu berjuang sekuat tenaga, nyawa sebagai taruhan demi
anak.Besuk tak buat puisi ya Bu”,.Aku tersenyum. “Berat ya perjuangan seorang
ibu,kita tidak boleh nakal dan harus patuh pada ibu”.Aku menepuk pundaknya
halus,”Tidak hanya patuh pada ibu ,tetapi juga Bapak,kakek ,nenek juga harus
dipatuhi nasihatnya.Pokoknya bapak ibu selalu berdoa agar kalian menjadi anak
yang shalikhah.Berbakti pada orang tua dan takwa pada yang Kuasa”.Spontan kami
berucap “Amin!”.Dari arah utara terdengar lantunan adlan tanda salat maghrib
telah tiba.Kami beranjak sambil mengambil mukena menuju ke masjid. Rasa damai
menyelimuti keluarga kami, saat-saat seperti ini. Berjalan bersama beriringan
ke masjid untuk sembahyang berjamaah. Alhamdulillah semoga Allah memberikan
kedamaian selalu pada keluarga kami
NAMA KELOMPOK
ARIFIANA KURNIA
MUTOFINGAH
NURAFNI YULIANI
FAJARIZMA NFM
AULIA FAUZIARAHMA
ANGGUN